Thursday, February 1, 2018

Menjadi Seorang Penolong


by Alphaomega Pulcherima Rambang 

Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
—Kejadian 2:18 

Adam awalnya hidup seorang diri, lalu Tuhan menjadikan Hawa sebagai penolong baginya. Wanita diciptakan sebagai penolong seorang pria. Sampai di sini kita sepakat; bukankah Tuhan yang berkata demikian? Lalu, apakah arti penolong di sini? 

Saat mendengar kata ‘penolong’, ada yang langsung mengkonotasikannya dengan pembantu (orang yang membantu pekerjaan rumah tangga kita). Banyak yang beranggapan pembantu berkedudukan lebih rendah dari tuannya. So, apakah seorang wanita berkedudukan lebih rendah dari pria? Tentu tidak. 

Di satu sisi, ada yang berkata begini: Namanya saja penolong, berarti yang menolong sebenarnya lebih kuat dan punya kemampuan dong daripada yang ditolong. Wanita lebih kuat karenanya dia menjadi penolong bagi pria. Benarkah demikian? 

Keduanya kurang tepat. 

Pria dan wanita memiliki peran yang berbeda. 

Pria dan wanita saling melengkapi. 

Saling menolong dengan caranya masing-masing. 

Seharusnya demikian. 

Tapi masalahnya sekarang, wanita sering merasa direndahkan sehingga berusaha menyaingi pria untuk memperoleh hormat pria. Walaupun gak terucapkan, wanita sering merasa rendah diri dan memperjuangkan persamaan hak dengan mencoba melakukan apa yang dilakukan pria. Wanita memilih menjadi keras untuk mendapatkan keinginannya padahal kelembutan wanita memiliki kekuatannya tersendiri. Terkadang untuk menghibur dirinya sendiri, wanita berkata kalau dirinya seorang penolong yang sebenarnya lebih kuat dan lebih mampu melakukan banyak hal. 

Pria dan wanita berbeda. 

Sudah, terima saja, hai wanita. 

Wanita perlu menyadari kalau ia tidak perlu berusaha ‘menang’ dari pria. Wanita tidak perlu bersaing dengan pria dengan meniru apa yang dilakukan pria. Bahkan wanita tidak perlu selalu berdebat dan beradu otot leher saat berbeda pendapat dengan seorang pria. Kini, di tempat kerjanya, seorang wanita berusaha melakukan segalanya sendiri untuk menunjukkan kalau dia lebih mampu dan hebat dari para pria. Bahkan di rumah juga. Seorang istri berusaha ‘menolong’ suaminya dengan berdebat menentang suaminya untuk memberi tahu bagaimana mengambil keputusan yang benar. 

Well, ini tidak akan menolong siapa pun. Tidak diri kita sendiri, maupun para pria. 

Seringkali kita para wanita menjadi frustasi sendiri, lelah karena berusaha menunjukkan eksistensi kita. Kita tidak diciptakan Tuhan untuk melakukan itu. 

Ingat, kita wanita, diciptakan Tuhan sebagai penolong. Nah, sudahkah kita menjadi seorang penolong? Minimal, sudahkah kita berusaha menjadi seorang penolong? 

Kalau boleh aku mengingatkan, siapa yang mempengaruhi Adam untuk makan buah yang dilarang Tuhan? 

Seorang wanita. 

Apakah wanita ini memaksa Adam? Tidak. 

Wanita memiliki kekuatan besar yang tidak disadarinya: kekuatan pengaruh. Wanita dapat memberikan pengaruh yang menolong seorang pria untuk memenuhi tujuan hidupnya. Bukan tanpa alasan ada kutipan seperti ini: 

Di belakang setiap pria hebat, pasti ada seorang wanita hebat. - Meryll Frost. 

Wanita dapat menjadi feminin dan tetap mendapat respek. Menjadi feminin bukan berarti menjadi lemah. Wanita menggunakan pengaruhnya dengan bersikap lembut. Menolong seorang pria dengan kelembutannya. Meyakinkan pria melakukan yang benar dengan kekuatan kata-kata dan kelembutan, bukan dengan teriakan atau menarik otot leher. Karena pria dan wanita berbeda, seringkali wanita memiliki memiliki sudut pandang yang berbeda akan suatu permasalahan; tapi wanita sering lupa menggunakan kemampuannya untuk bersikap lembut dan memberikan pengaruh positif bagi pria. 

Sebagai seorang isteri, aku berkali-kali gagal dalam hal ini. Ada saat di mana aku ingin menolong suamiku dengan memaksakan pendapatku kepada suami, meninggikan nada suaraku, memaksa suami mengikuti cara berpikirku, mengencangkan otot leherku untuk mempengaruhi suami dalam memutuskan sesuatu. Berhasil? Tentu saja tidak. Kami bertengkar. Boro-boro menolong suami yang ada jadi frustasi sendiri deh. Di tempat kerja juga sama, saat seorang rekan kerja pria tidak melakukan tugasnya, aku langsung mengambil alih. Pekerjaan selesai, tapi ada seorang pria yang merasa tersinggung karena dianggap tidak mampu. Bayangkan...! Padahal aku cuma ingin menolong. Sering kali itu terjadi karena dia sedang mengerjakan tugas lain, sehingga memprioritaskan hal yang lain. Ingat, pria bukan makhluk multitasking seperti wanita. Saat menyadari ini, aku belajar bersabar dan gak langsung mengambil alih. Aku belajar bertanya terlebih dahulu, apakah dia perlu bantuan atau tidak, apakah dia sibuk atau tidak, kalau memang diperlukan aku baru membantu. Terkadang terlalu berinisiatif juga tidak menolong. 

Menolong seorang pria ternyata membutuhkan kepekaan seorang wanita. Kita perlu belajar bahwa kebutuhan seorang pria berbeda dengan wanita, lalu meresponi kebutuhan tersebut dengan cara yang benar tanpa melupakan peran dan fungsi kita, tanpa melupakan kodrat kita sebagai seorang wanita. 

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^